Krisis Petani Muda di Desa Cikarawang dan Solusinya
Komentar

Krisis Petani Muda di Desa Cikarawang dan Solusinya

Komentar

Terkini.id, Bogor – Indonesia telah lama dikenal dengan sebutan negara agraris. Julukan ini diberikan karena banyaknya lahan pertanian di Indonesia dan banyak penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani. Namun, sekarang Indonesia terancam mengalami krisis regenerasi petani. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, terjadi penurunan jumlah petani muda sebesar 415.789 orang dari periode 2017 ke 2018. Menurunnya minat anak muda dalam menjadi tenaga kerja pada bidang pertanian merupakan hal yang menyebabkan krisis regenerasi ini terjadi. Data BPS pada 2018 menunjukkan, hanya 885.077 petani yang berusia di bawah 25 tahun.

Berkaitan dengan persoalan krisis regenerasi tenaga pertanian di desa, Cikarawang juga merupakan salah satu desa yang mengalami krisis tenaga muda di sektor pertanian. Desa Cikarawang merupakan desa yang terletak di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Berdasarkan data mata pencaharian warga Desa Cikarawang tahun 2021 bahwa mayoritas mata pencaharian warga berada pada sektor buruh swasta sebesar 750 orang, sedangkan pada sektor pertanian/persawahan hanya sebesar 310 orang. Desa ini memiliki potensi pertanian yang bagus tetapi mengalami kesulitan untuk memperoleh tenaga kerja muda yang mau terjun di pertanian.

Hampir semua petani mengeluh karena sulit memperoleh tenaga kerja untuk pengolahan tanah, penanaman, hingga panen. Sementara itu, usia para petani umumnya sudah lanjut usia. Anak-anak muda juga jarang yang mau melanjutkan usaha tani orang tuanya. Mereka lebih memilih untuk bekerja di pabrik-pabrik atau merantau ke daerah lain.

Baca Juga

Ada beberapa faktor penyebab yang mempengaruhi minat pemuda untuk bekerja di sektor pertanian. Menurut Ketua Gapoktan Mandiri Jaya desa Cikarawang, Bastari, rendahnya pengetahuan sumber daya manusia di bidang pertanian menjadi salah satu penyebabnya.

Keterampilan dan pengetahuan anak muda terkait pertanian yang masih minim berpengaruh pada rendahnya kontribusi anak muda dalam sektor pertanian. Menurut dia, anak muda masa sekarang mayoritas menginginkan pekerjaan dengan hasil yang instan.

Sedangkan, dalam pertanian, hasil atau keuntungan tidak bisa didapat secara instan atau dalam waktu dekat. Oleh karena itu, anak muda lebih memilih sektor di luar pertanian dibandingkan sektor pertanian.

“Satu itu, sumber daya manusia, kedua keterampilan yang masih kurang, ketiga pengetahuan yang masih minim. Anak-anak sekarang tu juga maunya instan, ga mau proses perjuangan kebanyakan,” katanya baru-baru ini.

Hal senada juga dikatakan Uti. Ia mengatakan bahwa minat anak muda yang lebih tertarik pada sektor industri juga membuat anak muda kurang mau terjun di sektor pertanian.

“Anaknya udah pada kerja, tapi ga mau turun ke pertanian neng. mereka ga mau karena modalnya gede tapi penghasilannya dikit,” katanya.

Penghasilan pekerjaan sektor industri yang lebih pasti dibandingkan hasil pertanian yang bergantung pada faktor cuaca membuat minat anak muda pada sektor pertanian semakin rendah. Selain itu, para orang tua lebih mendukung anaknya untuk bekerja di luar sektor pertanian dibandingkan di sektor pertanian.

Seorang buruh tani, Rahi mengungkapkan bahwa ketidaktertarikan anak muda untuk bertani adalah karena image petani yang dikenal tidak menjanjikan. Selain itu, semakin tingginya tingkat pendidikan, semakin enggan anak muda untuk terjun di sektor pertanian.

Hal tersebut disebabkan karena banyak anak muda yang mencari pekerjaan sesuai dengan tingkat pendidikannya. Image petani yang memiliki pendidikan rendah membuat anak muda yang memiliki tingkat pendidikan tinggi enggan bekerja di sektor pertanian karena dianggap menyia-nyiakan pendidikan yang ditempuhnya tersebut.

“Pemuda sekarang mah gamau terjun tani, maunya modern aja. Mereka pengennya kerja yang sesuai dengan pendidikan mereka saja. Malahan mereka gamau garap di lahan orang tua mereka sendiri, gamau kotor-kotoran, kebanyakan dari mereka juga lebih pengen kerja di sektor lain,” katanya.

Selain faktor di atas, Anton yang merupakan salah satu buruh petani muda di Desa Cikarawang mengatakan bahwa rendahnya minat para pemuda untuk bekerja di sektor pertanian adalah karena “takut kotor”.

Menurutnya, teman-teman sebayanya memiliki alasan bahwa jika bekerja di sektor pertanian identik dengan kata “kotor” karena turun langsung ke sawah dan kebun. Jadi, banyak pemuda yang berpikiran bahwa bekerja di sektor pertanian adalah hal yang melelahkan dan juga kotor.

“Mereka tuh malu, takut kotor pemuda zaman sekarang juga tu, nyari rumput aja mereka gamau. Nah, kalau saya sendiri mah ga malu, kerjain aja semuanya, dari SMP saya kayak gini, karena ya emang pengen sambil bantu orang tua juga,” ungkap Anton.

Yuki, seorang buruh petani muda di Cikarawang mengatakan bahwa salah satu penyebab pemuda tidak mau terjun di bidang pertanian adalah pemuda menganggap bekerja di bidang pertanian melelahkan dan mereka cenderung takut kepanasan.

“Ya, mungkin terlalu capek rasanya bagi anak muda, mereka juga takut kepanasan dan menurut mereka juga ngerasa kerja di sektor pertanian tu kurang menjanjikan,” kata Yuki.

Irwan, seorang petani yang juga bekerja menjadi kuli bangunan mengatakan, pemuda kurang mau terjun di bidang pertanian karena penghasilan di bidang pertanian yang kurang menjanjikan dan harga jualnya yang tidak pasti.

Selain itu, menurutnya kepemilikan lahan yang tidak memadai juga menjadi penyebabnya. Semakin tingginya tingkat konversi lahan pertanian untuk sektor industri membuat banyak petani menjual tanahnya dan membuat para petani tersebut tidak mempunyai lahan atau lahan yang dimiliki terlalu sedikit untuk memproduksi hasil usahatani.

“Ya pertama karena sawah panas, kedua penghasilan dan harga jual yang tidak mencukupi. Jadi ya kebanyakan pemuda lebih memilih kerja di sektor lain dari pada terjun di bidang pertanian,” kata Irwan.

Pendapat Irwan sejalan dengan pendapat Ndang bahwa pemuda cenderung tidak tertarik di bidang pertanian karena penghasilannya yang tidak menjanjikan. Selain itu, menurutnya adanya rasa gengsi juga menjadi salah satu penyebabnya.

“Mereka pada gamau teh. Hal itu terjadi mungkin karena mereka gengsi, ekonomi yang kalau kerja di sektor pertanian tu hasilnya kurang,” ungkap dia.

Jika tren penurunan tenaga kerja petani terus meningkat Indonesia bisa jadi akan kehilangan profesi petani. Masalah penuaan usia petani patut menjadi perhatian semua pihak. Jika kegiatan produksi pertanian hanya dilakukan oleh generasi tua, maka perlahan tapi pasti jumlah petani akan semakin berkurang dari tahun ke tahun.

Lahan-lahan pertanian yang terlantar karena tidak ada lagi yang menggarap bisa berubah fungsi menjadi lahan perumahan, industri, dan infrastruktur lainnya. Sehingga lahan-lahan pertanian akan semakin menyusut dan muncullah permasalahan ketidakseimbangan lingkungan.

Upaya yang dapat dilakukan untuk menarik minat pemuda agar mau terjun di bidang pertanian adalah orang tua perlu memberikan pengetahuan mengenai pertanian sejak kecil. Selain itu, perlu dibentuk sebuah kelompok yang terdiri dari para petani milenial sebagai wadah untuk pemuda belajar pertanian.

Salah satunya yaitu kelompok tani Bandung yang berkiprah di bidang kopi. Kelompok tersebut menarik perhatian pemerintah karena pengemasan, factory dan pemasarannya yang sangat kreatif. Melihat hal tersebut, pemuda di desa Cikarawang sangat dianjurkan untuk berkunjung dan melakukan kolaborasi dengan kelompok tersebut, karena dapat membuka minat para pemuda untuk terjun di pertanian.

Solusi

Lalu upaya atau solusi yang dapat dilakukan selanjutnya adalah penerapan teknologi pertanian modern. Salah satunya contohnya yakni pengembangan Greenhouse Aquaponik untuk budidaya pertanian dan perikanan sebagai upaya untuk menarik pemuda bertani. Greenhouse yang dilakukan sudah berhasil melakukan ekspor ke beberapa negara.

Dalam hal tersebut, DEKS Bank Indonesia bekerja sama dengan Arus Baru Indonesia (ABRI) untuk membangun Greenhouse Aquaponik dan mesin pengalengan jamur merang. Dalam produksinya, mereka melakukan tahap pertama di delapan pesantren hingga dilanjut di 10 pesantren pada tahap selanjutnya.

Hal tersebut cocok dilakukan karena petani dinilai dapat mendorong percepatan transformasi teknologi digital. Selain itu, pemuda juga dapat mendorong konsep pertanian yang berbasis pada teknologi yang bertumpu pada observasi dan pengukuran untuk menghasilkan data. Data tersebut berguna sebagai penentu kegiatan kerja bercocok tanam yang efektif dan efisien.

Tak hanya itu, dengan digitalisasi pemuda juga dapat mencapai praktik yang baik dan presisi. Sehingga diharapkan dengan adanya petani muda, pendapatan petani dapat meningkat sedikitnya 50 persen, serta diharapkan adanya perbaikan produktivitas.

Selain itu, dengan karakteristik generasi milenial yang akrab dengan alat komunikasi dan suka membentuk komunitas, pembentukan media komunitas juga diperlukan. Hal itu dapat meningkatkan minat bertani dan menambah kepercayaan diri para petani muda.

Bertani sebagai pengusaha, tidak terbatas hanya dengan mengolah lahan yang dimiliki keluarga secara turun temurun, dengan teknologi tradisional dan hasil yang rendah. Usaha tani juga bisa maju sebagaimana usaha di sektor non pertanian. Untuk itu, pemerintah dan pemangku kepentingan perlu mendorong pembentukan komunitas petani muda, khususnya di hulu usaha yaitu produksi padi.

Melalui komunitas anak-anak muda yang telah tertarik bertani akan naik kepercayaan dirinya, mudah berbagai pengalaman, saling membantu dan juga bagi pemerintah akan lebih mudah dalam pembinaannya.

Pada intinya, pemerintah perlu menetapkan kebijakan yang berpihak kepada petani. Kebijakan yang perlu dilakukan untuk menarik generasi muda masuk ke sektor pertanian yaitu adanya kebijakan intensif kepada petani muda dalam hal penguasaan lahan, peningkatan kompetisi di bidang pertanian, kegiatan penumbuhan karakter minat bertani pada anak sejak dini, dan menyadarkan orang tua pentingnya keberlanjutan pertanian.

Selain itu, sosialisasi yang tepat dan berkelanjutan untuk mengembangkan minat petani muda, pengembangan usaha agribisnis yang berkelanjutan di desa, dan pemberian kredit usaha untuk mempermudah petani muda dalam menghadapi resiko pertanian juga penting untuk dilakukan.

Penulis: Dian Ashfi Furoida dkk, mahasiswa Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, IPB University